Mencari Identitas Masisir
Setiap orang yang melangkahkan kaki ke dunia pendidikan pastilah memiliki maksud dan tujuan yang berbeda yang akhirnya menuntunnya pada suatu target yang diinginkan. Kita tidak hanya hidup sebagai insan Akademis namun kita Juga terlahir sebagai insan moralitas. Jadi, harus ada titik temu diantara keduanya. Oleh karena itu kita harus bisa menyesuaikan diri kita( social humanity). Baik dalam lingkungan Pribadi ataupun lingkungan umum.
Setidaknya, untuk bisa melangsungkan kehidupan yang akan kita jalani. Kita harus bisa beradaptasi dengan lingkungan mahsaiswa mesir (masisir). Terlepas dari semua itu kita juga harus bisa memanfaatkan waktu sebaik mungkin. menengok sejarah yang lalu, Ketika kita datang pertama kali ke Ranah perbincangan masisir, karena ketika itu secara otomatis kita sudah masuk dalam kategori masisir. Demikian halnya kita tidak luput dengan apa yang akan kita capai. Seandainya kita ditanya oleh orang lain. Apakah tujuan anda ke Mesir? Pastilah kita akan menjawab "untuk belajar." Namun kenyataan tidak selalu lurus dengan apa yang kita cita-citakan dari awal. Niat kita yang utama kadang akan mulai tersingkir dengan sesuatu hal yang sangat sepele dan terkadang akan membuat kita ragu ataupun bahkan banyak kendala yang menghalau ,sehingga niat kita akan luntur dengan sendirinya. Hendaknya kita harus memanfaatkan kesempatan emas sebagai insan akademis sebagai duta bangsa yang akan mengharumkan nama negara. Namun sebagai insan akademis, Masisir memiliki berbagai musykilat yang sangat kompleks. Baik dari segi finansial ataupun bangku perkuliahan. Yaitu: gagalnya upaya mencapai cita-cita sebagai mahasiswa yang berakademis. Akademis disini bukan berarti berangkat ke kuliah setiap hari.Tapi akademis yang menyadari dirinya sebagai insan penuntut khazanah, haus akandinamika keilmuan dan selalu tertantang oleh hal-hal yang berbau keintelektualan.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, terutama pasca kedatangan Camaba, dinamika Masisir terlihat seperti busa menggelembung. Mari kita cermati bersama jumlah person yang datang ke Mesir dari tahun ke tahun terus bertambah, instansi kekeluargaan; almamater dan lain sebagainya. Semua itu menandakan miniatur betapa Masisir berkuantitas.Namun bukan rahasia lagi bahwa kuantitas masisir dan kualitas nya tidak sebanding,ironis memang. Namaun, itu adalah PR kita yang akan kita jawab bersama.
Berbagai macam orang dari suku daerah diseluruh penjuru tanah air membendung pada muara yang sama. Yaitu sebagai insan akademis yang memangkul jabatan Masisir. Yang memenuhi negara Mesir khususnya..
Kelompok-kelompok tersebut berjubel tumbuh bak parasit di belantara. Ini merupakan dinamika berharga yang harus disyukuri. Tapi juga harus disadari, dinamika tersebut masih menyisahkan problema juga, akses akademik di dalamnya belum sepenuhnya bisa dinikmati terutama dalam bidang keintelektualitas dan intregitas mahasiswa..
Di satu sisi, fenomena tersebut amat menggembirakan karena mencerminkan kreatifitas mahasiswa yang diminati oleh berbagai orang dipenjuru nusantara.
Secara garis besar, kedudukam Masisir sebenarnya merugi. Mari kita runut dari awal, sebenarnya penjejalan dunia studi di Al-Azhar tidak memungkinkan mengiring mereka ke ranah “Pencerahan”. Bukan rahasia lagi, kepekaan kampus kita perlu dipertanyakan kembali, mampukah generasi terdidik di sana bisa berkiprah dalam gegap-gempita pentas dunia yang tidak pernah mereka temui di diktat kuliah. Namun kenyataanya, dominasi peran alumnus Al-Azhar sedikit ditemui bahkan jarang sekali dan bahkan tepatnya tidak ada.Akademis itu memang sebuah keniscayaan, karena itu lah mahasiswa diciptakan. Maka dari itu Masisir harus menuntutnya, bahkan hingga titik darah penghabisan. Disadari atau tidak, kemelut pendidikan tidak mencerahkan di Al-Azhar, sangat sedikit impian cemerlang yang gemilang. Sudah barang tentu generasi muda dibuat penat, alih-alih mereka mengharap iklim kondusif studi, namun yang ada hanya “ketidaktahuan”.
Memang sistem yang ada dalam dunia perkuliahan di Al-Azhar tidak cocok jika kita hanya mengandalkan bangku perkuliahan tersebut.
Mungkin terdapat segelintir Masisir yang mengetahui serta paham problema yang diderita ketidakakdemisan Al-Azhar. Mereka adalah komunitas yang dibesarkan dan matang secara intelektual dengan jalur otodidak. Karena mengharap akademis di kampus lalu kecewa, akhirnya mencari terobosan baru, memasuki lini lain dengan cara berdinamika yang jelas, dan tentunya cocok dengan metode belajar yang mereka terapkan. Masisir harus keluar dan berani menjejalkan “kritik diri” bahwa dirinya sebagai mahasiswa yang seyogyanya harus berakademis.
Maka, saat kampus tidak menorehkan titah itu, mereka wajib `ain untuk mengejarnya. Melalui urun rembuk dalam forum ataupun kajian ilmiah yang bisa mencerahkan, hingga membuat mereka sibuk dan selalu kepikiran menyangkut permasalahan intelektual, dalam hal ini kita boleh menyebut mereka sudah termasuk dalam kategori insan akademis. Itu lah mahasiswa, itu lah sebenarnya dunia mereka, dan itu lah identitas mereka.berusaha dan bergerilya sendiri.dengan berbagai suasana-suasana yang membosankan. Sehingga kita sebagai insan akademis harus bisa mencapai apa yang kita inginkan dan menyelaraskan kehidupan dengan aturan yang berlaku pada diri kita sendiri. Dan jika kita termasuk dalam kategori insan yang non-akademis. Marilah kita memulai dari langkah yang paling awal untuk memulainya. Yang akan menjadi tauladan bagi masyarakat nanti jika kita sudah kembali ke Tanah Air. Akhirnya, perjuangan tidaklah sesulit yang kita bayangkan. Dan pastilah akhir perjuangan akan menghasilkan sesuatu yang menyenangkan..
Yang Tak Berbeda Dengan Kebiadaban Israel
Palestina semakin terpojok secara militer dan politik. Namun seperti biasanya, pemimpin Arab diam seribu bahasa. Sejarah mengatakan bahwa pemimpin Arab adalah orang-orang yang selalu terjebak dengan kepentingan diri dan kelompoknya saja. Iraq melihat Iran dari sisi Syiahnya, Iran memandang Saudi dari Wahabinya, begitu juga Saudi melihat Iraq dari sisi Sunninya. Sedang Mesir memilih diam untuk mengamankan posisinya. Ego promordial ini yang kemudian memunculkan keengganan untuk prihatin terhadap sesama Arab, bahkan terkadang menimbulkan pertikaian berdarah.
Konflik sektarian diatas jelas merupakan peluang bagi Amerika untuk segera mendulang keuntungan politik. Karena untuk memenangkan konflik dengan saudaranya sendiri, sebagian negara-negara Arab akhirnya harus menjalin hubungan manis dengan AS. Padahal nyata-nyata mereka mengecam AS dan sekutunya sebagai negara yang mendalangi seluruh konflik di kawasan Timur Tengah.
Arab Saudi dan Mesir adalah segelintir dari negara tidak konsisten terhadap sikap politknya. Ketika palestina disergap kebiadaban Israel, segera mereka mengutuknya. Namun dibalik sikap politknya itu, Saudi dan Mesir juga menjalin skandal Ekonomi dan Militer dengan AS. Hanya sedikit negara Arab berani menanggung resiko hidup miskin tanpa bersentuhan dengan Amerika, seperti halnya Iran dan Libya.
Dan kemarin korban jatuh lagi. Lebanon meradang kesakitan, akibat kekejian militer Israel. Dan sama; masih seperti yang dulu lagi, negara-negara Arab tetap saja membiarkan pembunuhan besar-besaran terhadap apa yang disebut Israel sebagai "para teroris". Hanya Iran yang dengan sedikit keberaniannya berani terang-terangan prihatin dengan keadaan tersebut.
Sungguh mengherankan sekali, negara Arab yang begitu banyak jumlahnya bisa dibuat tak berkutik oleh negara yang hanya mempunyai wilayah kecil seperti Israel. Bahkan Liga Arab sebagai forum persatuan negara Arab, ibarat forum arisan saja, lebih banyak berkumpul untuk membahas isu, dari pada berkerja untuk mengimplementasikan solusi. Jadi kalau orang berangan-angan bahwa suatu saat negara-negara Arab berkumpul dalam satu visi, kemudian ramai-ramai mengeroyok Israel adalah sebuah fantasi yang konyol.
Negara-negara teluk seakan tidak sadar bahwa zionisme adalah bagian dari rencana dan strategi AS untuk mewujudkan "Israel Raya". merupakan horor bagi seluruh kawasan Timur-Tengah. Namun justru ini yang tidak pernah disadari oleh bangsa-bangsa Arab. Mereka tetap merasa nyaman dengan cadangan sumber daya alam dan minyak yang melimpah ruah. Sehingga melanggengkan praduga bahwa tidak mungkin bagi AS dan sekutunya mengusik negeri-negeri petrodolar tersebut. Tapi konpensasi politik apa yang akan diterima jika tambang minyak dan sumur-sumur gas sudah tidak menghasilkan apa-apa lagi ?. Jelas tidak sebanding dengan isy baladi yang diberikan Amerika kepada Mesir, atau jaminan militer yang ditermia Arab Saudi.
Mungkin ada benarnya pendapat yang mengatakan bahwa kebangkitan Islam sudah tidak mungkin diharapkan lagi kemunculannya dari Timur Tengah. Tumpuan umat Islam sekarang harus berpindah kepada negara-negara berkembang seperti Malaisyia dan Indonesia.
Lebanon dan Palestina adalah penguji bangsa Arab. Sejauh mana komitmen mereka untuk menghadang kezaliman AS dan Israel yang semakin tak terkendali. Sedang sampai saat ini, sikap yang ditampilkan jelas jauh untuk dikatakan memperjuangkan rakyat Palestina dan Lebanon. Malahan cenderung menutup mata terhadap kebiadaban Israel. Walaupun dengan kekuatan militer, sebenarnya mereka mampu meminimalisirnya. Ini berarti sama halnya dengan berbuat kebiadaban itu sendiri. Jadi negara-negara Timur Tengah yang diam dengan kebiadaban yang menimpa saudaranya, sama biadabnya dengan Israel itu sendiri. Sebab pada hakekatnya, ada dua model kejahatan, yang pertama membuat kejahatan itu sendiri, dan yang kedua; membiarkan kejahatan merajalela di sekitarnya.
Aroma Cinta
Kehidupan yang terbiasa dan terlaksana sungguh indah jika dimaknai dan dihiasi dengan rasa cinta. Karena dengan cinta bisa merubah segalanya. Yang jahat menjadi baik, yang kasar menjadi Halus bahkan yang murka menjadi luluh. Itulah pengaruh cinta yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Sebenarnya kalau kita jeli dan teliti, kita dapat merasakan, mengetahui dan mendalami arti cinta. Jika kita lihat kalimat al-Hub dalam bahasa arab, kedua huruf tersebut, ha’ dan ba’ merupakan huruf yang terlepas dari tekanan suara, ia bebas lepas dari kepentingan-kepentingan lidah yang biasa bersilat, keluar begitu saja. Begitulah cinta, tidak bisa dibuktikan dengan kata-kata, suara atau rayuan. Melainkan diekspresikan dengan tindakan kongkrit. Itu merupakan bentuk kebebasan cinta. Yang tidak bisa dipaksa untuk datang secepatnya. Atau diundur selang beberapa waktu. Artinya, Kita mengharapkan Cinta datang tepat pada waktunya.
Namun itu bukanlah cinta. Cinta itu ada getaran hebat jika kita mendengar nama yang kita cintai. Sebagaimana yang diterangkan dalam Ayat Al-Qur’an bahwa seorang mukmin akan bergetar hatinya jika nama Tuhanya itu dilantunkan. Hanya saja kita harus memaknainya dengan keselarasan cinta yang sebenarnya. Yaitu cinta kepada Tuhan dan Rosulnya.Tuhan menganugrahkan cintanya tidak kepada sembarang orang. Suara hati lebih jernih mengungkapkan dan menangkap saripati cinta. Sebab undang-undang cinta berada di tangan-Nya, bukan di tangan si pecinta dan orang yang dicintai, kita tidak dapat memilih dan memilah cinta, tapi cintalah yang menghampiri dan menjemput kita. Tatkala kita didatangi cinta, berarti timbullah benih-benih cinta dalam hati. Al-Insan ma'dan (manusia adalah logam). Lantas, apakah kita menjadi emas (yang merasa berharga tinggi), besi (yang bisa tertarik dengan magnet) atau logam-logam lainnya. Tentu andai kita merasa menjadi emas, kita tidak akan pernah mencintai, percaya dan mengikuti Baginda Rasul, para pendahulu dan para penerusnya. Lain halnya jika kita menjadi besi maka kita akan selalu condong tertarik oleh magnet. Dengan kata lain, andaikan diperintah untuk memilih, maka magnet akan memilih emas sebagai logam mulia, tapi kenapa besi yang tertarik, itulah rahasia cinta, Allah-lah yang lebih mengetahui. "Innallaha indal-munkasirati qulubuhum". Artinya; Allah-lah yang menganugerahi luluh lantaknya hati bersama dengan cinta. Sedangkan definisi cinta adalah Mayalanul-qalbi bitthabi'ah li irdha'ilmahbub. Artinya; Kecendrungan hati secara alami untuk mencari ridho syang dicintai, sebagai gambaran bila anda datang kepada orang yang anda cintai kemudian dia mengusir anda berkali-kali, pasti anda akan mendatanginya lagi. Dan ketika keduanya mengalami cinta seperti itu, maka sang pecinta (muhib) dan yang dicintai (mahbub) tidak lagi berada dalam kawasan hub tetapi hib (saling mencintai) sebagaimana cinta antara sahabat dan Baginda Rasul. Lain halnya bila anda tidak mencintai dengan sungguh-sungguh, maka anda akan mencampakkannya begitu saja. Begitulah ibadah kita kepada-Nya, dengan cinta kita akan terus mengetuk pintu-Nya, sampai Allah membukakannya. Sebuah usaha yang kita tempuh tanpa mengetahui hasilnya secara pasti. Setelah Mencintai Tuahn dan Rosulnya cinta yang tetap harus menjaga aromanya adalah cinta kepada orang tua. Karena Keridoan Alloh itu tergantung pada keridloan orang tua. Cinta yang datangnya darimanapun itu termasuk ujian bagi kita. Kita akan menjaadi manusia yang palin beruntung jika kita bisa memanfatkan cinta tersebut. Cinta yang datangnya dri surga itulah yang paling kita inginkan. Dengan melalui para Rosul, Sahabat, Waliyulloh kita akan dihantarkan untuk mencium bau cinta dari surga yang memabukkan.Karena kita hanya manusia yang bisa berusaha. Hati kita akan gersang, jika tidak ditumbuhi benih-benih cinta tersebut.
MADINATUL BU’US AL- ISLAMIYAH
Kamarku terletak di lantai nomer dua. Setiap hari harus naik turun tangga. Namun, itu aktifitas yang menyenangkan. Walaupun lumayan tinggi, namun setiap hari aku harus menaikinya setiap hari. Paling sedikit dua kali. Yaitu mengambil makan pagi dan makan siang.
Si Usman
Siang bearalih menggusarkan hari-hariku yang penuh kepenatan, aku suntuk, capek dan kesal. Bapak yang sedari tadi aku tunggu di depan pintu gerbang tidak kunjung datang, aku merasa takut dan pikiranku mulai melayang ke hal-hal yang kurang baik. Menakutkan..
Si Usman. Begitu panggilan akrab para tetanggaku. Aku tidak tahu mengapa bapak di panggil seperti itu, mungkin karena postur tubuhnya yang pendek kecil dan kerdil. Namun hal itu tidak membuat bapakku kecil hati. Karena mungkin sudah terlalu biasa akan panggilan yang kadang menyakitkan hatiku.
Bapak seorang pekerja keras dan sangat giat, tiap pagi ia selalu bangun pagi dan mencuci mobil. Ya, tepatnya mobil majikannya. Mana mungkin kami memiliki mobil yang hanya bisa dimiliki oleh jutawan. Bapak hanya sebagai sopir sedangkan ibuku membuka warung lontong di depan gardu dekat pasar.
Aku anak sulung dari enam bersaudara. Dengan kelima adikku aku berusaha membantu kedua orang tuaku dengan mengantarkan koran tiap pagi, sebelum berangkat sekolah. Kini aku duduk di kelas tiga SMU Kusumawijaya, sebentar lagi akan melanjutkan kuliah.
"Makne..Handoko gimana?"
"Gimana-gimana toh pakne?"
"Piye toh makne...makne...kok lupa sama anaknya?"
"Ya nggak toh pakne, emang ada apa toh?"
"Mak...."
"Iya ...."
"Handoko sebentar lagi tamat SMU, trus gimana makne?"
"Terserah Handoko aja pakne, karena dia yang menjalaninya, dan dia lebih faham kondisi kita"
"Iya, Handoko pasti maklum akan hal itu." Karena semuanya akan mengalami metamorfosis yang tidak sama. Karena itu tidak akan membuat kesalahan yang tidak sama. Itu bukan berarti kesalahan yang bisa membuat kemarahan yang sangat fatal.
Setelah mendengar percakapan semalam, yang menambah beban dalam pikiranku, aku mulai kalut. Bingung...antara iya atau tidak. Jujur saja, selama ini aku memilih apa yang kujalani atas dasar pilihan orang tuaku, karena meraka lebih tahu akan kehidupan anak-anaknya. Untuk saat ini, mungkin aku sudah dewasa dan harus memilih jalan hiupku.
"Handoko....."panggil bapak dengan suara keras dengan lari terbata-bata
"Maafkan bapak nak, bapak terlambat karena nganterin majikan ke pasar."
"Ya...Pak tidak apa-apa kok pak, mari pak masuk, acaranya baru saja dimulai."
"Iya nak mari." ajak bapak dengan nada tergopoh-gopoh.
Hari ini adalah hari yang di tunggu semua siswa-siswi SMU kusmawijaya. Hari penantian yang selama tiga tahun harus rela mendekam di sudut ruangan. Hari yang sangat menyenangkan tapi juga mendebarkan. Tak bisa ku bayangkan. Mungkin Pak Guru salah membacanya. Akupun serasa tidak percaya, ternyata akulah si Juara umum mendapatkan NEM tertinggi se kabupaten. Hatiku sedih, susah, senang campur jadi satu. Bapak hanya bisa menangis. Mungkin bangga ataupun kecewa aku tidak tahu.
Aku hanya bisa bersyukur atas apa yang telah dikaruniakan Tuhan kepadaku.
Semalaman aku tidak bisa memejamkan mataku, karena merasuk apa yang di ucapkan kedua orang tuaku kemaren.
Keesokan harinya aku dipanggil Kepala sekolah. Baliau memilih aku agar meneruskan kuliah, yang memberi kesempatan untuk meneruskan Kuliah Kedokteran di salah satu Universitas bergengsi di Bandung. Namun, Walaupun mendapatkan keringanan besar aku harus tetap membayar daftar ulang yang menurutku bayaran itu tidak sedikit, jika dibandingkan penghasilan keluargaku yang harus menghidupi tujuh kepala yang butuh makan tiap harinya.
Akupun Bingung dan selalu bingung akan kenikmatan ini. Haruskah aku Marah?atau bahagia? Atau bagaimana ya.....? aku bingung banget.
Kringggg....kringggg....
Bunyi weker itu mengagetkan lamunan tidurku, aku tidak biasanya bangun terlambat. Sampai-sampai tidak mendengar adzan subuh.
Sungguh malam ini aku kurang tidur, kepalaku pusing dan mataku berat untuk dibelalakkan.
"Han....,Han....sudah siang kok belum bangun" teriak Ibuku sambil mengetuk pintu.
"Handoko sudah bangun kok Bu,"
"Sarapan dulu sebelum berangkat." Pinta ibu, karena hari ini adalah giliranku untuk mendapatkan sarapan pagi.
" Memang mau berangkat kemana Bu, kan Handoko....."
" Sudah....sana siap-siap, katanya mau daftar kuliah."
" Lho....Emang...." gerutuku kaget
" Sudahlah...mumpung masih ada kesempatan pergunakanlah sebaik mungkin. Dan Aku sama Bapakmu hanya bisa berdo'a."
Tatapan itu lirih, sedih dan pasti, namun baru kali ini aku merasa ada setumpuk kasih sayang yang mengubur dalam jiwa orang tuaku. Kini mereka tunjukkan dalam bentuk tekad dan keinginan yang kuat, tak ingin melihat anak-anaknya sengsara. Rasa itu masih berkecamuk dalam lubuk hatiku. Akankah aku bisa mengemban amanah yang berat ini. Sebagai kepercayaan mereka untuk aku jalankan.
Ya...Demi masa depan yang lebih baik. Agaknya bapak dan ibuku sudah enggan untuk hidup sengsara dan terbiasa diabaikan orang lain. Akupun tidak mau menyalahkan nasib, mungkin memang sudah menjadi hukum alam bahwa ada yag kaya dan ada yang miskin. Ironis, banyak yang menilai dalam diri seseorang itu dengan harta yang melimpah, namun Tuhan tidak menilai akan itu semua, hanya Ketakwaan yang bisa membedakan antara manusia satu dengan yang lain.” Untung Tuhan Tidak Pernah Pilih Kasih.” Gerutuku dalam Hati
Akupun lansung memeluk ibuku yang masih mematung didepanku. Dengan deru tetesan air mata yang enggan berhenti.
"Makasih Bu..."
"Bapak kemana Bu?"
Tanyaku sambil memasukkan nasi ke dalam mulutku
"Bapak ke Rumah Pak Hendrat"
"Ngapain bu..??"
"Bapak men...nngg"
"knapa bu..?""
" Ah...Nanti juga kamu tahu Han..."
"Knapa sih Bu...kok pakai rahasia segala.." tanyaku mendesak pada ibuku.
Ku lihat Raut wajahnya yang mulai keriput dan mulai terlihat tanda-tanda penuaan.
. Ku Takkan meninggalkan mu oh...Keluarga Cemaraku. Ku kan berjuang untuk kalian semua. Terimakasih Tuhan...
###
Pada awal kalinya aku mengijakkan kaki di kuliah, aku hanya bisa menyelesaikan tugasku dengan meminjam berbagai buku yang ada. Baik dalam perpustakaan atupun milik teman yang sejurusan denganku. Menurutku itu tidak menjadi masalah. Hanya saja karena banyak orang yang iri terhadapku. Aku hanya bisa mengurut dada. Teman-temanku banyak yang menjauhiku. Aku tidak tahu. Yang jelas mereka hanya bisa mengatakan segala hal yang aku lakukan selalu ditentang oleh mereka.
“ Handoko ...kemari..??” pinta salah satu dosen pembimbing
“Ada apa Pak?”
“Tolong panggilkan Pak Hendrat di Ruang BP.”
“ Iya Pak..jawabku singkat sambil lalu.”
Sedikitpun aku tidak menaruh rasa curiga pada kedua dosen tersebut. Setelah kejadian itu selang beberapa hari aku di panggil rektor yang menyatakan bahwa aku di Drop Out dari kuliah.
Aku hanya bisa mengangguk dan menurut. Apa boleh disangka. Itu sudah menjadi takdir bagiku. Aku tidak tahu kalo aku kena damprat. Selam aini uang yang sumbangkann kepadaku adalah uang haram. Andai aku tahu pasti aku akan menolakknya. Dari kejadian itu.aku salah satu mahasiswa yang kena korban. Korban fitnah tepatnya.
Karena-kejadian itu-aku takut melangkahkan kaki pulang. Aku hanya bisa melakukan apa yang selama ini aku takutkan. Aku serasa tidak punya malu. Semua dosen menganggapku melakukan semua itu.
Beberapa hari ini aku mulai suntuk dengan kegiatan yang tidak tahu juntrungnya.
Kedua orang tuaku tidak mengetahui hal yang sebenarnya. Semuanya menjadi rahasiaku. Aku tidak tahu harus berbuat bagaimana. Ketulusan apa saja yang akan diujikan kepadaku. Karena sebenarnya orangtuakulah yang menunjukkan jalan ini.
***
Keadilan dan Kesamaan HAM memang tidak ada bedanya. Karena manusia sudah dibutakan oleh dunia.
Kalimat inilah yang selalu terngiang dalam telingaku. Pembicaraan irulah yang sering aku dengar akgir-akhir ini.Dunia adalah permainan belaka. Nikmat TuhanMu yang manakah yang akan kau dustakan.
Aku hanya bisa tersenyum lega. Atas kebebasanku. Aku memang tidak salah. Hanya korban pemfitnahan saja.
Kini aku bisa hidup cukup bahagia bersama keluargaku. Tanpa ada tetanggaku yang mengejekku lagi...si Usman yang kadang membuatku tidak bernyali, jika orangtuaku dipanggil seperti itu.