Si Usman
Siang bearalih menggusarkan hari-hariku yang penuh kepenatan, aku suntuk, capek dan kesal. Bapak yang sedari tadi aku tunggu di depan pintu gerbang tidak kunjung datang, aku merasa takut dan pikiranku mulai melayang ke hal-hal yang kurang baik. Menakutkan..
Si Usman. Begitu panggilan akrab para tetanggaku. Aku tidak tahu mengapa bapak di panggil seperti itu, mungkin karena postur tubuhnya yang pendek kecil dan kerdil. Namun hal itu tidak membuat bapakku kecil hati. Karena mungkin sudah terlalu biasa akan panggilan yang kadang menyakitkan hatiku.
Bapak seorang pekerja keras dan sangat giat, tiap pagi ia selalu bangun pagi dan mencuci mobil. Ya, tepatnya mobil majikannya. Mana mungkin kami memiliki mobil yang hanya bisa dimiliki oleh jutawan. Bapak hanya sebagai sopir sedangkan ibuku membuka warung lontong di depan gardu dekat pasar.
Aku anak sulung dari enam bersaudara. Dengan kelima adikku aku berusaha membantu kedua orang tuaku dengan mengantarkan koran tiap pagi, sebelum berangkat sekolah. Kini aku duduk di kelas tiga SMU Kusumawijaya, sebentar lagi akan melanjutkan kuliah.
"Makne..Handoko gimana?"
"Gimana-gimana toh pakne?"
"Piye toh makne...makne...kok lupa sama anaknya?"
"Ya nggak toh pakne, emang ada apa toh?"
"Mak...."
"Iya ...."
"Handoko sebentar lagi tamat SMU, trus gimana makne?"
"Terserah Handoko aja pakne, karena dia yang menjalaninya, dan dia lebih faham kondisi kita"
"Iya, Handoko pasti maklum akan hal itu." Karena semuanya akan mengalami metamorfosis yang tidak sama. Karena itu tidak akan membuat kesalahan yang tidak sama. Itu bukan berarti kesalahan yang bisa membuat kemarahan yang sangat fatal.
Setelah mendengar percakapan semalam, yang menambah beban dalam pikiranku, aku mulai kalut. Bingung...antara iya atau tidak. Jujur saja, selama ini aku memilih apa yang kujalani atas dasar pilihan orang tuaku, karena meraka lebih tahu akan kehidupan anak-anaknya. Untuk saat ini, mungkin aku sudah dewasa dan harus memilih jalan hiupku.
"Handoko....."panggil bapak dengan suara keras dengan lari terbata-bata
"Maafkan bapak nak, bapak terlambat karena nganterin majikan ke pasar."
"Ya...Pak tidak apa-apa kok pak, mari pak masuk, acaranya baru saja dimulai."
"Iya nak mari." ajak bapak dengan nada tergopoh-gopoh.
Hari ini adalah hari yang di tunggu semua siswa-siswi SMU kusmawijaya. Hari penantian yang selama tiga tahun harus rela mendekam di sudut ruangan. Hari yang sangat menyenangkan tapi juga mendebarkan. Tak bisa ku bayangkan. Mungkin Pak Guru salah membacanya. Akupun serasa tidak percaya, ternyata akulah si Juara umum mendapatkan NEM tertinggi se kabupaten. Hatiku sedih, susah, senang campur jadi satu. Bapak hanya bisa menangis. Mungkin bangga ataupun kecewa aku tidak tahu.
Aku hanya bisa bersyukur atas apa yang telah dikaruniakan Tuhan kepadaku.
Semalaman aku tidak bisa memejamkan mataku, karena merasuk apa yang di ucapkan kedua orang tuaku kemaren.
Keesokan harinya aku dipanggil Kepala sekolah. Baliau memilih aku agar meneruskan kuliah, yang memberi kesempatan untuk meneruskan Kuliah Kedokteran di salah satu Universitas bergengsi di Bandung. Namun, Walaupun mendapatkan keringanan besar aku harus tetap membayar daftar ulang yang menurutku bayaran itu tidak sedikit, jika dibandingkan penghasilan keluargaku yang harus menghidupi tujuh kepala yang butuh makan tiap harinya.
Akupun Bingung dan selalu bingung akan kenikmatan ini. Haruskah aku Marah?atau bahagia? Atau bagaimana ya.....? aku bingung banget.
Kringggg....kringggg....
Bunyi weker itu mengagetkan lamunan tidurku, aku tidak biasanya bangun terlambat. Sampai-sampai tidak mendengar adzan subuh.
Sungguh malam ini aku kurang tidur, kepalaku pusing dan mataku berat untuk dibelalakkan.
"Han....,Han....sudah siang kok belum bangun" teriak Ibuku sambil mengetuk pintu.
"Handoko sudah bangun kok Bu,"
"Sarapan dulu sebelum berangkat." Pinta ibu, karena hari ini adalah giliranku untuk mendapatkan sarapan pagi.
" Memang mau berangkat kemana Bu, kan Handoko....."
" Sudah....sana siap-siap, katanya mau daftar kuliah."
" Lho....Emang...." gerutuku kaget
" Sudahlah...mumpung masih ada kesempatan pergunakanlah sebaik mungkin. Dan Aku sama Bapakmu hanya bisa berdo'a."
Tatapan itu lirih, sedih dan pasti, namun baru kali ini aku merasa ada setumpuk kasih sayang yang mengubur dalam jiwa orang tuaku. Kini mereka tunjukkan dalam bentuk tekad dan keinginan yang kuat, tak ingin melihat anak-anaknya sengsara. Rasa itu masih berkecamuk dalam lubuk hatiku. Akankah aku bisa mengemban amanah yang berat ini. Sebagai kepercayaan mereka untuk aku jalankan.
Ya...Demi masa depan yang lebih baik. Agaknya bapak dan ibuku sudah enggan untuk hidup sengsara dan terbiasa diabaikan orang lain. Akupun tidak mau menyalahkan nasib, mungkin memang sudah menjadi hukum alam bahwa ada yag kaya dan ada yang miskin. Ironis, banyak yang menilai dalam diri seseorang itu dengan harta yang melimpah, namun Tuhan tidak menilai akan itu semua, hanya Ketakwaan yang bisa membedakan antara manusia satu dengan yang lain.” Untung Tuhan Tidak Pernah Pilih Kasih.” Gerutuku dalam Hati
Akupun lansung memeluk ibuku yang masih mematung didepanku. Dengan deru tetesan air mata yang enggan berhenti.
"Makasih Bu..."
"Bapak kemana Bu?"
Tanyaku sambil memasukkan nasi ke dalam mulutku
"Bapak ke Rumah Pak Hendrat"
"Ngapain bu..??"
"Bapak men...nngg"
"knapa bu..?""
" Ah...Nanti juga kamu tahu Han..."
"Knapa sih Bu...kok pakai rahasia segala.." tanyaku mendesak pada ibuku.
Ku lihat Raut wajahnya yang mulai keriput dan mulai terlihat tanda-tanda penuaan.
. Ku Takkan meninggalkan mu oh...Keluarga Cemaraku. Ku kan berjuang untuk kalian semua. Terimakasih Tuhan...
###
Pada awal kalinya aku mengijakkan kaki di kuliah, aku hanya bisa menyelesaikan tugasku dengan meminjam berbagai buku yang ada. Baik dalam perpustakaan atupun milik teman yang sejurusan denganku. Menurutku itu tidak menjadi masalah. Hanya saja karena banyak orang yang iri terhadapku. Aku hanya bisa mengurut dada. Teman-temanku banyak yang menjauhiku. Aku tidak tahu. Yang jelas mereka hanya bisa mengatakan segala hal yang aku lakukan selalu ditentang oleh mereka.
“ Handoko ...kemari..??” pinta salah satu dosen pembimbing
“Ada apa Pak?”
“Tolong panggilkan Pak Hendrat di Ruang BP.”
“ Iya Pak..jawabku singkat sambil lalu.”
Sedikitpun aku tidak menaruh rasa curiga pada kedua dosen tersebut. Setelah kejadian itu selang beberapa hari aku di panggil rektor yang menyatakan bahwa aku di Drop Out dari kuliah.
Aku hanya bisa mengangguk dan menurut. Apa boleh disangka. Itu sudah menjadi takdir bagiku. Aku tidak tahu kalo aku kena damprat. Selam aini uang yang sumbangkann kepadaku adalah uang haram. Andai aku tahu pasti aku akan menolakknya. Dari kejadian itu.aku salah satu mahasiswa yang kena korban. Korban fitnah tepatnya.
Karena-kejadian itu-aku takut melangkahkan kaki pulang. Aku hanya bisa melakukan apa yang selama ini aku takutkan. Aku serasa tidak punya malu. Semua dosen menganggapku melakukan semua itu.
Beberapa hari ini aku mulai suntuk dengan kegiatan yang tidak tahu juntrungnya.
Kedua orang tuaku tidak mengetahui hal yang sebenarnya. Semuanya menjadi rahasiaku. Aku tidak tahu harus berbuat bagaimana. Ketulusan apa saja yang akan diujikan kepadaku. Karena sebenarnya orangtuakulah yang menunjukkan jalan ini.
***
Keadilan dan Kesamaan HAM memang tidak ada bedanya. Karena manusia sudah dibutakan oleh dunia.
Kalimat inilah yang selalu terngiang dalam telingaku. Pembicaraan irulah yang sering aku dengar akgir-akhir ini.Dunia adalah permainan belaka. Nikmat TuhanMu yang manakah yang akan kau dustakan.
Aku hanya bisa tersenyum lega. Atas kebebasanku. Aku memang tidak salah. Hanya korban pemfitnahan saja.
Kini aku bisa hidup cukup bahagia bersama keluargaku. Tanpa ada tetanggaku yang mengejekku lagi...si Usman yang kadang membuatku tidak bernyali, jika orangtuaku dipanggil seperti itu.
0 comments:
:f :D :) ;;) :x :$ x( :?
:@ :~ :| :)) :( :s :(( :o
Post a Comment