Selamat Datang di Blognya Aniqoh

Mencari Identitas Masisir


Setiap orang yang melangkahkan kaki ke dunia pendidikan pastilah memiliki maksud dan tujuan yang berbeda yang akhirnya menuntunnya pada suatu target yang diinginkan. Kita tidak hanya hidup sebagai insan Akademis namun kita Juga terlahir sebagai insan moralitas. Jadi, harus ada titik temu diantara keduanya. Oleh karena itu kita harus bisa menyesuaikan diri kita( social humanity). Baik dalam lingkungan Pribadi ataupun lingkungan umum.

Setidaknya, untuk bisa melangsungkan kehidupan yang akan kita jalani. Kita harus bisa beradaptasi dengan lingkungan mahsaiswa mesir (masisir). Terlepas dari semua itu kita juga harus bisa memanfaatkan waktu sebaik mungkin. menengok sejarah yang lalu, Ketika kita datang pertama kali ke Ranah perbincangan masisir, karena ketika itu secara otomatis kita sudah masuk dalam kategori masisir. Demikian halnya kita tidak luput dengan apa yang akan kita capai. Seandainya kita ditanya oleh orang lain. Apakah tujuan anda ke Mesir? Pastilah kita akan menjawab "untuk belajar." Namun kenyataan tidak selalu lurus dengan apa yang kita cita-citakan dari awal. Niat kita yang utama kadang akan mulai tersingkir dengan sesuatu hal yang sangat sepele dan terkadang akan membuat kita ragu ataupun bahkan banyak kendala yang menghalau ,sehingga niat kita akan luntur dengan sendirinya. Hendaknya kita harus memanfaatkan kesempatan emas sebagai insan akademis sebagai duta bangsa yang akan mengharumkan nama negara. Namun sebagai insan akademis, Masisir memiliki berbagai musykilat yang sangat kompleks. Baik dari segi finansial ataupun bangku perkuliahan. Yaitu: gagalnya upaya mencapai cita-cita sebagai mahasiswa yang berakademis. Akademis disini bukan berarti berangkat ke kuliah setiap hari.Tapi akademis yang menyadari dirinya sebagai insan penuntut khazanah, haus akandinamika keilmuan dan selalu tertantang oleh hal-hal yang berbau keintelektualan.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, terutama pasca kedatangan Camaba, dinamika Masisir terlihat seperti busa menggelembung. Mari kita cermati bersama jumlah person yang datang ke Mesir dari tahun ke tahun terus bertambah, instansi kekeluargaan; almamater dan lain sebagainya. Semua itu menandakan miniatur betapa Masisir berkuantitas.Namun bukan rahasia lagi bahwa kuantitas masisir dan kualitas nya tidak sebanding,ironis memang. Namaun, itu adalah PR kita yang akan kita jawab bersama.

Berbagai macam orang dari suku daerah diseluruh penjuru tanah air membendung pada muara yang sama. Yaitu sebagai insan akademis yang memangkul jabatan Masisir. Yang memenuhi negara Mesir khususnya..

Kelompok-kelompok tersebut berjubel tumbuh bak parasit di belantara. Ini merupakan dinamika berharga yang harus disyukuri. Tapi juga harus disadari, dinamika tersebut masih menyisahkan problema juga, akses akademik di dalamnya belum sepenuhnya bisa dinikmati terutama dalam bidang keintelektualitas dan intregitas mahasiswa..

Di satu sisi, fenomena tersebut amat menggembirakan karena mencerminkan kreatifitas mahasiswa yang diminati oleh berbagai orang dipenjuru nusantara.

Secara garis besar, kedudukam Masisir sebenarnya merugi. Mari kita runut dari awal, sebenarnya penjejalan dunia studi di Al-Azhar tidak memungkinkan mengiring mereka ke ranah “Pencerahan”. Bukan rahasia lagi, kepekaan kampus kita perlu dipertanyakan kembali, mampukah generasi terdidik di sana bisa berkiprah dalam gegap-gempita pentas dunia yang tidak pernah mereka temui di diktat kuliah. Namun kenyataanya, dominasi peran alumnus Al-Azhar sedikit ditemui bahkan jarang sekali dan bahkan tepatnya tidak ada.Akademis itu memang sebuah keniscayaan, karena itu lah mahasiswa diciptakan. Maka dari itu Masisir harus menuntutnya, bahkan hingga titik darah penghabisan. Disadari atau tidak, kemelut pendidikan tidak mencerahkan di Al-Azhar, sangat sedikit impian cemerlang yang gemilang. Sudah barang tentu generasi muda dibuat penat, alih-alih mereka mengharap iklim kondusif studi, namun yang ada hanya “ketidaktahuan”.

Memang sistem yang ada dalam dunia perkuliahan di Al-Azhar tidak cocok jika kita hanya mengandalkan bangku perkuliahan tersebut.

Mungkin terdapat segelintir Masisir yang mengetahui serta paham problema yang diderita ketidakakdemisan Al-Azhar. Mereka adalah komunitas yang dibesarkan dan matang secara intelektual dengan jalur otodidak. Karena mengharap akademis di kampus lalu kecewa, akhirnya mencari terobosan baru, memasuki lini lain dengan cara berdinamika yang jelas, dan tentunya cocok dengan metode belajar yang mereka terapkan. Masisir harus keluar dan berani menjejalkan “kritik diri” bahwa dirinya sebagai mahasiswa yang seyogyanya harus berakademis.

Maka, saat kampus tidak menorehkan titah itu, mereka wajib `ain untuk mengejarnya. Melalui urun rembuk dalam forum ataupun kajian ilmiah yang bisa mencerahkan, hingga membuat mereka sibuk dan selalu kepikiran menyangkut permasalahan intelektual, dalam hal ini kita boleh menyebut mereka sudah termasuk dalam kategori insan akademis. Itu lah mahasiswa, itu lah sebenarnya dunia mereka, dan itu lah identitas mereka.berusaha dan bergerilya sendiri.dengan berbagai suasana-suasana yang membosankan. Sehingga kita sebagai insan akademis harus bisa mencapai apa yang kita inginkan dan menyelaraskan kehidupan dengan aturan yang berlaku pada diri kita sendiri. Dan jika kita termasuk dalam kategori insan yang non-akademis. Marilah kita memulai dari langkah yang paling awal untuk memulainya. Yang akan menjadi tauladan bagi masyarakat nanti jika kita sudah kembali ke Tanah Air. Akhirnya, perjuangan tidaklah sesulit yang kita bayangkan. Dan pastilah akhir perjuangan akan menghasilkan sesuatu yang menyenangkan..

0 comments:

Post a Comment

About This Blog

  © Blogger template The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP